BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sayuran merupakan bahan pangan yang
sangat penting dalam kehidupan sehari
hari manusia terutama bagi penduduk Indonesia, banyak jenis sayuran yang di
budidayakan oleh masyarakat petani untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus
meningkat terhadap sayuran. Di antaranya
sayuran yang ditanam, atau di budidayakan adalah kubis (Brassica
oleracea var. capitata L.) walau hanya termasuk salah satu dari semua jenis
sayuran yang ada namun permintaan masyarakat untuk tanaman yang satu ini bisa
di bilang sangat tinggi, sebagai contoh Permintaan kubis dari kabupaten
Simalungun, Sumatera utara sebanyak 2 ton/minggu harus dikirim ke Batam, dan
700 kilogram untuk dikirim ke Rantau Prapat, sedangkan untuk transaksi
perdagangan yang lebih besar (export), permintaan mencapai 600 ton per minggu,
ke Penang Malaysia (Hastuti, 2001). Untuk memenuhi kebutuhan atau permintaan
pasar yang tinggi maka para petani yang membudidayakan tanaman ini harus selalu
berusaha untuk mendapatkan hasil panen yang bagus, tanaman Kubis sendiri
memiliki banyak kandungan vitamin untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat
adapun yang terkandung dalam tanaman kubis adalah vitamin (A, B dan C), mineral, karbohidrat,
protein dan lemak yang amat berguna bagi kesehatan. Seperti beberapa jenis
sayuran lainnya, kubis memiliki sifat mudah rusak, berpola produksi musiman dan
tidak tahan disimpan lama. Sifat mudah rusak ini dapat disebabkan oleh daun
yang lunak dan kandungan air cukup tinggi, sehingga mudah ditembus oleh
alat-alat pertanian dan hama/penyakit tanaman.
Kubis sendiri tidak hanya terdapat satu jenis namun
bermacam macam keluarga kubis-kubisan memiliki jenis yang cukup banyak. Yang
lazim ditanam
di Indonesia, antara lain kubis, kubis bunga, brokoli, kubis tunas, kubisrabi,
dan kale. Jenis kubis-kubisan ini diduga dari kubis liar Brassica oleracea
var.sylvestris, yang tumbuh di sepanjang pantai Laut Tengah, pantai
Inggris,Denmark, dan sebelah Utara Perancis Barat. Kubis liar tersebut ada yang
tumbuhsebagai tanaman biennial dan ada juga
yang perenial. Kubis yang telah
dibudidayakan dibuat menjadi tanaman annual. Untuk memperoleh bijinya,
kubis tersebut dibiarkan tumbuh sebagai tanaman biennial.
Kubis
(Brassicae oleracea var. capitata L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Namun, dalam budidaya tanaman tersebut tidak
sedikit tantangan dan kendala yang dihadapi, khususnya masalah serangan hama
dan penyakit yang dapat mengagalkan panen. Kubis atau kol merupakan salah satu
jenis sayuran yang berasal dari daerah subtropis. Bahkan dalam beberapa tahun
terakhir ini, kubis termasuk enam kelompok besar sayuran segar yang banyak diekspor. Dari
komposisinya kubis pun meru- pakan tanaman yang banyak mengandung vitamin,
mineral, karbo- hidrat dan protein yang cukup
bagi tubuh manusia. Selain itu kubis
merupakan komoditas tanaman sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi meskipun
nilai jualnya sangat dipenga- ruhi oleh kualitas hasil panennya, khususnya
penampilan visual produk.
Sayuran ini dapat ditanam di dataran rendah maupun
di dataran tinggidengan curah hujan rata-rata 850-900 mm. Daunnya bulat, oval,
sampai lonjong,membentuk roset akar yang besar dan tebal, warna daun
bermacam-macam, antaralain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma
rubra).
Kubis
putih (Brassica oleracea var. capitata L.) merupakan salah satu sayuran
penting, terutama di dataran tinggi. Sejak awal tahun ’70-an kubis juga ditanam
di beberapa daerah dataran rendah, seperti di daerah Yogyakarta, Klaten, dan
Jember. Kubis varietas KK Cross (Subhan 1989; Permadi & Djuariah 1992) dan
Green Baru (Suryadi & Permadi 1998) dapat beradaptasi dengan baik dan
mempunyai hasil krop tinggi dengan umur genjah, cocok untuk dikembangkan di
dataran rendah dan dataran medium. Tanaman kubis-kubisan lainnya yang penting
adalah petsai, kubis bunga, dan brokoli. Menurut laporan Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan dan Hortikultura (1999), luas panen kubis di Indonesia dalam
tahun 1998 adalah 65.974 hektar dengan total produksi 1.383.398 ton. Sejak lima
tahun terakhir (1994-1998), rata-rata hasil panen atau produktivitas kubis
relatif konstan, yaitu sekitar 21 t/ ha. Nilai ini masih jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kubis di daerah subtropik seperti
di Jerman (37,6 t/ha), Nederland (49,3 t/ha), dan Amerika Serikat (23 t/ha)
(Nieuwhof 1969). Hal itu antara lain disebabkan oleh (Permadi 1993) : (1)
seleksi varietas-varietas impor yang dilakukan di daerah subtropik, (2) masa
pertumbuhan tiap hari di daerah subtropik lebih lama daripada masa
pertumbuhannya di Indonesia (16-18 jam penyinaran setiap harinya di daerah
subtropik), dan (3) adanya gangguan hama/penyakit yang dapat menggagalkan panen
kubis (Sastrosiswojo 1994).
Tanaman
kubis berkembang dengan baik bila ditanam di daerah dingin dengan kelembaban
yang stabil serta tekstur tanahnya yang subur dan gembur dengan banyak humusnya
ntuk daerah sentra penghasil Kubis sendiri di indonedia menurut data yang
diproleh oleh Badan Pusat Statistik,adalah
Cipanas, Lembang, Pengalengan, Jawa Barat, Wonosobo, Tawangmangu, Jawa
Tengah, Tengger, Tosari, dan Punten, Jawa Timur Serta Tanah Karo, Sumatera
Utara. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2010, daerah produsen kubis antara lain, Batang, Pekalongan,
Pemalang, Tegal, Brebes, Semarang, Kendal, Purbalingga, Banjarnegara, Magelang,
Temanggung, Wonosobo, Karanganyar, Wonogiri, Klaten.
1.2.
Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk
mengetahui residu insektisida dengan bahan aktif dimehipo di tanaman kubis
terhadap serangga jangkrik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Komoditas
hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan
tanaman obat merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan
melalui usaha agribisnis, mengingat potensi serapan pasar di dalam negeri dan
pasar internasional terus meningkat. Kubis merupakan sayuran yang mempunyai
peran penting untuk kesehatan manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan
mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Sebagai sayuran kubis dapat
membantu pencernaan, menetralkan zat-zat asam (Pracaya, 2005). Pengembangan
sayuran, khususnya kubis sebagai sayuran dataran tinggi memerlukan penanganan
yang khusus sejak pra sampai pasca panennya, dan dalam pengembangan atau
budidaya tanaman di Indonesia sendiri termasuk tanaman kubis untuk urusan
penanggulangan hama masyarakat masih menggunakan pestisida sebagai solusi utama
Di sisi lain
pestisida merupakan bahan kimia, sehingga pemakaian yang berlebihan dapat
menjadi sumber pencemar pada bahan pangan, air, dan lingkungan hidup. Lebih
jauh residu yang ditinggalkan dapat secara langsung maupun tidak langsung
sampai ke manusia. Pestisida merupakan suatu substansi bahan kimia dan material
lain (mikroorganisme, virus, dll.) yang tujuan penggunaannya untuk mengontrol
atau membunuh hama dan penyakit yang menyerang tanaman, bagian tanaman, dan
produk pertanian, membasmi rumput/gulma, mengatur, dan menstimulasi pertumbuhan
tanaman atau bagian tanaman, namun bukan penyubur (Rianto 2006 dan Sanborn et
al. 2002). Pestisida meliputi herbisida (untuk mengendalikan gulma),
insektisida (untuk mengendalikan serangga), fungisida (untuk mengendalikan
fungi), nematisida (untuk mengendalikan nematoda), dan rodentisida (racun
vertebrata) (Sanborn et al. 2002, Anonymous 2006, dan Rianto 2006). Penggunaan
pestisida dianggap menguntungkan untuk menekan kehilangan hasil sebelum dan
setelah pemanenan (Sathpaty.G 2012).
Tanaman kubis dapat tumbuh pada
semua jenis tanah, mulai tanah pasir sampai tanah berat. Tetapi yang paling
baik adalah tanah yang gembur, banyak mengandung humus dengan pH antara 6-7.
Jenis tanah yang paling baik adalah lempung berpasir (Rukmana, 2007).
Menurut data BPS
(2010), jenis komoditi hasil pertanian yang paling dominan diproduksi di
Indonesia tahun 2010 adalah sayuran kubis (1,384,044ton). Dalam pemanfaatannya,
kubis dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan (Permentan
No.88 Tahun 2011). Kadar residu insektisida dapat menurun oleh karena proses
pengolahan makanan. Hal ini diakibatkan oleh karena proses hidrolisis,
penguapan, dan degradasi zat kimia (Soemirat, 2009). Proses pencucian adalah
hal yang umum dilakukan di rumah tangga karena dapat dilakukan dengan baik air
maupun larutan pencuci yang tersedia di dapur. Bahan kimia alami yang
direkomendasikan untuk tujuan penurunan residu pestisida adalah garam (NaCl),
natrium bikarbonat (NaHCO3), dan asam cuka (CH3COOH) (Klinhom, 2008).
Penambahan larutan dari bahan kimia alami dapat memperbesar penurunan tingkat
residu, hal ini dikarenakan tingkat degradasi residu pestisida pada larutan
garam, natrium bikarbonat, asam cuka lebih tinggi secara signifikan daripada
air biasa (Satpathy, 2012). Larutan dari bahan alami juga tidak membahayakan
kesehatanjika dibandingkan dengan larutan pencuci buah sintetik. Residu
insektisida masih dapat tertinggal pada sayuran yang diperlakukan dengan
insektisida. Residu insektisida diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan
(keracunan) baik akut maupun kronik. Upaya penurunan kadar residu perlu
dilakukan agar pangan aman dikonsumsi.
Terdapat 3
kelompok utama pestisida konvensional antara lain (1) chlorinated hydrocarbon
(organoklorin), umumnya terurai sangat lambat dan memerlukan waktu yang relatif
lama (dieldrin, chlordan, aldrin, DDT, dan heptaklor), (2) organophosphate
(organofosfat), sangat toksik pada manusia, tetapi umumnya tidak lama terurai
(diazinon, malation, dimetoat dan klorpirifos), dan (3) carbamat, sedikit toksik
pada manusia, namun berpotensi mempengaruhi kekebalan dan sistem saraf pusat
(karbaril, karbofuran, dan metomil) (Blanpied 1984). Menurut penelitian yang
dikemukakan oleh Zhang et al. (2007) pestisida kelompok organoklorin,
organofosfat, dan piretroid merupakan jenis pestisida yang paling banyak
digunakan secara ekstensif di pasar Cina, sedangkan menurut Yang dan Fang dalam
Bai et al. (2006), penggunaan pestisida jenis organoklorin sudah dilarang sejak
tahun 1983. Tuntutan mutu dan keamanan pangan pada perdagangan regional maupun
internasional untuk komoditas pertanian saat ini dihadapkan pada aspek mutu dan
keamanan pangan, sehingga kini menjadi masalah utama dalam produksi dan
pemasaran sayuran. Usaha peningkatan keamanan pangan produk pertanian, khususnya
sayuran, telah dilakukan. Melalui program pengendalian hama-penyakit terpadu
(PHT) membuktikan bahwa produksi hasil pertanian dilakukan tidak hanya
mempertimbangkan aspek tingginya tingkat produksi, tetapi juga aspek
keberlanjutan produksi, kelestarian lingkungan, dan keamanan pangan. Namun
sejauh ini belum mampu menjawab berbagai persoalan keamanan pangan. Hal ini
dikarenakan adanya praktik produksi yang menyimpang dari anjuran. Beberapa
hasil penelitian melaporkan adanya sejumlah residu insektisida permetrin pada
tomat dan kubis, insektisida kartap hidroklorida dan endosulfan pada kubis,
klorotanil dan maneb pada tomat, dan residu fungisida mankozeb pada tomat dan
petsai (Harun et al. 1996). Adanya kasus penolakan produk ekspor Indonesia oleh
beberapa negara juga menunjukkan bahwa penanganan aspek keamanan pangan di
Indonesia masih belum optimal.
Di daerah sub tropis yang udaranya dingin, bunga akan keluar
dari ketiak daun. Bunga terdiri dari 4 helai daun kelopak berwarna hijau, 4
helai daun mahkota bnerwarna kuning muda, 4 helai benangsari bertangkai
panjang, 2 helai benang sari bertangkai pendek dan 1 buah putik yang beruang
dua. Buah berbentuk polong, panjang dan ramping berisi biji. Kubis dapat
diperbanyak dengan biji atau stek. Biji atau stek dapat ditanam langsung di
lapaangan atau disemai terlebih dahulu ditempat persemaian, setelah cukup besar
dapat dipindah ke lapangan (Cahyono, 2002).
BAB 3
PELAKSANAAN
PRAKTIKUM
3.1.
Waktu dan Tempat
Waktu pelaksanaan praktikum pestisida dan aplikasinya ini
dilaksanakan pada hari Kamis di Laboratorium
Insektisida Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya,Indralaya.
3.2.
Alat dan Bahan
Adapun
alat yang digunakan pada praktikum bioteknologi pertanian antara lain sebagai
berikut: 1)Tabung Reaksi, 2)Pipet Tetes,
3)Toples, 4)Penggaris, 5)Gunting, 6)Alat Tulis
Adapun
bahan yang digunakan pada praktikum bioteknologi pertanian antara lain sebagai
berikut: 1)Insektisida berbahan aktif dimehipo,
2)Air/Aquadest, 3)Jangkrik, 4)Kubis
3.3. Cara Kerja
Cara kerja atau langkah langkah yang
dilakukan dalam pelaksanaan peraktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Siapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Siapkan 4 toples yang keadaan dalamnya bersih . Masukkan
10 ekor jangkrik di dalam setiap toples.
3. Didalam keempat toples tersebut ada 1 toples yang tidak
dimasukkan potongan kubis. Masukkan setiap potongan kubis ketiga toples.
4. Siapkan konsentrasi antara insektisida berbahan aktif
dimehipo dengan air,lalu masukan potongan kubis dengan cara di celupkan pada
konsentrasi tersebut.
5. Lalu masukkan kubis tersebut ke toples nomor 1 .
Selanjutnya masukan kubis yang telah dicelupkan ke air biasa ke toples nomor 2,
masukan potongan kubis yang tidak diberi perlakuan ke toples nomor 3 dan toples
nomor 4 tidak diberi kubis.
6. Amati dan catat hasil kematian jangkrik tersebut terhadap
4 perlakuan
BAB 4
HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1. Hasil
No.
|
Perlakuan
|
Hidup
|
Mati
|
1.
|
4 Tidak diberi kubis
|
0
|
10
|
2.
|
Tidak diberi kubis
|
10
|
0
|
3.
|
1 Kubis langsung tanpa pestisida dan tanpa dicuci
|
10
|
0
|
4.
|
3 Kubis diberi insektisida
|
8
|
2
|
5.
|
1 Kubis langsung tanpa pestisida dan tanpa dicuci
|
7
|
3
|
6.
|
3 Kubis diberi insektisida
|
7
|
3
|
7.
|
2 Kubis dicuci
|
9
|
1
|
8.
|
2 Kubis diberi insektisida dan dicuci
|
10
|
0
|
4.2. Pembahasan
Adapun pembahasan dalam pelaksanaan praktikum
ini adalah sebagai berikut: dalam praktikum residu insektisida pada tanaman
kubis terhadap serangga jangkrik digunakan beberapa bahan utama seperti
jangkrik dan kubis (Brassica oleracea L.)
Dimana kita menguji pengaruh residu insektisida kubis terhadap serangga
jangkrik.
Dari
analisis yang dilakukan kita mendapatkan hasil bahwa jangkrik yang diberi kubis lebih banyak hidup dari jangkrik yang
tidak diberi kubis. Jangkrik yang tidak diberi kubis akan mati dan terdapat
semut di jangkrik tersebut. Jangkrik lebih menyukai kubis yang mengandung
insektisida.
Residu
insektisida adalah insektisida yang masih tersisa pada bahan pangan setelah
diaplikasikan ke tanaman pertanian. Sedangkan residu adalah sisa insektisida yang
ditinggalkan sesudah perlakuan dalam jangka waktu yang telah menyebabkan
terjadinya peristiwa-peristiwa khemis dan fisis mulai bekerja. Karena residu mempunyai pengertian bahan sisa
yang telah ditinggal cukup lama, maka bahan residu sudah tak efektif lagi
sebagai racun langsung, namun masih berbahaya karena dapat terakumulasi. Oleh
Karena itu diperlukan suatu cara untuk mendeteksi atau menganalisisnya,
menggunakan metode-metode tertentu yang umumnya telah dibakukan. (Ameriana.M,2008)
Residu
insektisida pada tanaman kubis yang dilakukan tidak memberikan pengaruh
terhadap jangkrik tersebut karena bahan residu ditanaman kubis tidak efektik
lagi sebagai racun langsung. Dari table hasil praktikum dengan perlakuan
pertama (4 tidak diberi kubis) tidak ada yang hidup dan mati sepuluh. Perlakuan
kedua (tidak diberi kubis) sepuluh hidup dan tidak ada yang mati. Perlakuan ketiga (diberi 1
kubis langsung tanpa pestisida dan tanpa dicuci) sepuluh hidup dan tidak ada
yang mati. Perlakuan keempat (diberi 3 kubis dan insektisida) delapan hidup dan
dua mati. Perlakuan kelima (diberi 1 kubis langsung tanpa pestisida dan tanpa
dicuci) tujuh hidup dan 3 mati. Perlakuan keenam (diberi 3 kubis dan
insektisida) tujuh hidup dan tiga mati. Perlakuan ketujuh (diberi 2 kubis yang
sudah dicuci) Sembilan hidup dan satu mati. Perlakuan terakhir (diberi 2 kubis
yang sudah dicuci dan diberi insektisida).
Dari
hasil tersebut bahwa residu insektisida pada tanaman kubis tersebut tidak lagi
mempengaruhi kematian serangga jangkrik. Dan untuk kubis yang langsung diberi
pestisida pun tidak mempengaruhi kematian pada serangga jangkrik tersebut.
Jadi, tidak semua residu insektisida dapat mempengaruhi kematian pada serangga.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat
setelah dilaksanakanya peraktikum ini dari awal hingga selesai adalah sebagai
berikut :
1 1)
Residu adalah sisa insektisida yang ditinggalkan sesudah
perlakuan dalam jangka waktu yang telah menyebabkan terjadinya
peristiwa-peristiwa khemis dan fisis mulai bekerja.
2 2)
Residu insektisida adalah insektisida yang masih tersisa
pada bahan pangan setelah diaplikasikan ke tanaman pertanian.
3 3)
Residu insektisida pada tanaman kubis tidak efektif lagi
sebagai racun langsung
4 4)
Serangga Jangkrik yang hidup lebih banyak dari pada yang
mati
5 5)
Tidak semua residu insektisida mempengaruhi kematian
serangga
5.2. Saran
Agar praktikum kedepannya lebih dijelaskan
lagi lebih rinci teknisi praktikum agar tidak mempersulit ketika membuat
laporannya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,S.S, 2003. Di Lingkungan. Jurnal Nasib Bahan Kimia POPs Kesehatan: Jakarta,
Vol 1, Hal.4 (online). http://www.depkes.co.id ( Akses 07-12-2012)
Amalia. 2004. Efektifitas Ekstrak Campuran Biji Swietenia mahogany
Jacq dan Ranting Aglaia odorata Lour. (Meliaceae) Terhadap Serangga Hama dan
Pengaruhnya Terhadap Musuh Alami di Pertanaman Kubis. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor. 31 hlm.
Aziz Thamrin.
2011. Analisis Residu Pestisida Diazinon
dalam Tanaman Kubis ( Brassica olareceae) Menggunakan Biosensor Elektrokimia (
Voltametri siklik).Kendari: Program Study Kimia Jurusan Kimia Universitas
Haluoloe.10 hlm
Kaswinarni F. 2005. Toksisitas dan Pengaruh Konsentrasi Sub Letal Ekstrak Pacar Cina
(Aglaia odorata Lour.) Terhadap Pertumbuhan Ulat Krop Kubis (Crocidolomia
binotalis Zeller). [Skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Diponogoro.
Mujib Abdul., Syabana, A, Mohamad., Hastuti, Dewi.
2014. Uji Efektifitas Larutan Pestisida Nabati Terhadap Hama Ulat Krop
(Crocidolomia pavonna L.) Pada Tanaman Kubis (Brassica oleraceae).
Jakarta: fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
No comments:
Post a Comment